katanya..

"Aku habis baca semua cerita pendek di blogmu."
"Terus?"
"Semua yang kau tulis tentangmu?"
"Gila, butuh keberanian untuk membagi pengalaman pribadi kepada pembaca."
"Tapi jika aku jadi pembaca, pasti aku akan berpikir itu adalah cerita si penulis."
"Biarkan saja mereka berpikir seperti itu."
"Tapi kenapa sih kamu nggak bisa bikin ending cerita yang jelas?"
"Maksudnya?"
"Endingmu selalu nggantung, digantungin, di-php'in, nggak bisakah kamu berpikir sesuatu yang lebih bahagia?"
"Aku sudah cukup bahagia."
"Bukan kamu, tapi cerita-ceritamu."
"Kamu pengen tahu apa yang paling membuatku bahagia?"
"Menulis cerita yang endingnya tidak jelas?"
"Sotoy."
"Lalu apa?"
"Mengetahui bahwa kamu ternyata suka membaca tulisanku."

Surabaya, 2013
Jika kamu bahkan tak mau membaca tulisanku, lalu siapa lagi yang akan membacanya, sayang?
if somebody comment in to you, it's mean she/he care with you.

selembar uang sepuluh ribu rupiah

"Apa-apaan ini majalah semua isinya korea. Lah ini kan Indonesia bukan Korea."

Aku menggerutu sambil membolak-balik halaman majalah yang kubeli di kios koran di depan rumah sakit tadi siang. Majalah untuk anak Abege memang, sudah ada sejak aku masih SMP. Berbekal penasaran aku merogoh kocek sebesar sepuluh ribu rupiah untuk membelinya, tapi isinya tak semenarki dulu, full dengan korea dari halaman pertama sampai cover depan juga cover belakang.

"Cowok-cowok Korea setahuku keren-keren. Banyak banget cewek yang naksir."

Aku memalingkan mukaku ke arah kanan, seorang anak laki-laki sedang memainkan iPhone'nya, telinganya ditutupi earphone tapi masih sempat-sempatnya ngomentarin gerutuanku tadi.

"Maaf ya, nggak semua cewek seperti itu."

"Ya kan aku bilangnya banyak, berarti nggak semuanya juga, sih."

"Berisik."

***

"Mbak milo dinginnya satu."

"Sepuluh ribu, Mbak."ujar mbak-mbak yang ada di belakang mesin kasir. Aku mengeluarkan selembar uang sepuluhribuan dari dalam dompet. Harga-harga makanan dan minuman di dalam rumah sakit memang "agak" sedikit tidak wajar. Mahal.

"Nih, Mbak. Sekalian saya satu ya."seseorang menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan sebelum aku sempat menyerahkan kepada mbak mbak kasir. Aku membelalakkan mata, laki-laki iPhone itu lagi.

"Nih!"kataku sambil menyerahkan uang warna ungu kemerahan padanya.

"Gue traktir."

"Nggak mau."

"Rejeki ditolak. Dosa tahu."serunya sambil meraih satu gelas milo dingin dan duduk di salah satu kursi kafe yang terletak di dalam rumah sakit ini. Aku mengikutinya dan duduk di hadapannya.

"Sorry, gue nggak bisa. Kita belum kenal."ujarku sambil meletakkan uang di hadapannya.

"Kalau gitu, kenalan."

"Sorry."

"Nama gue Firman, gue tau nama lu Riska kan? Lagi jagain adek lu yang kena tifus di ruangan Bougenvile 230."

Aku menghentikan langkahku.

"Dari mana kamu tau semua itu?"

"Suster jaga yang kasih tau gue."

"Buat apa kamu nyari tau?"

"Penasaran."

"Edan."

Aku meninggalkan cowok aneh itu yang sedang asyik dengan milo dinginnya. Aku mengintipnya dari kejauhan, tak lama dia meninggalkan tempat duduknya sambil mengantongi uang yang kuletakkan di hadapannya tadi.

***

"Aku nemuin pacarku bentar, ya."bisik Dina. 

Aku berjalan melihat-lihat sekitar, Dina yang ngajakin ke festival ini, dia juga yang ninggalin aku sendirian. Aku membuka tutup botol air mineral lalu meneguknya sedikit. Agak panas padahal ini sore hari dan outdoor, mungkin karena sedang banyak orang di sini. Surabaya sedang merayakan hari ulang tahunnya, ada parade budaya dan pawai bunga sore itu yang dimulai dari Tuga Pahlawan dan berakhir di Balai Kota. 

Aku mengambil beberapa gambar, biar saja si Dina. Nanti juga sms kalau urusannya dengan pacarnya kelar. Seseorang menginjak kakiku.

"Maaf.. maaf.."

"Duh, pake mata dong kalo jalan."

"Yee.. aku kan sudah minta ma... Riska? Bukannya adekmu masih di rumah sakit?"serunya sambil berseri mendapatiku berdiri di hadapannya sore itu.

"Duh, mimpi apa sih gue nggak di rumah sakit, nggak di sini, ketemu eluuu terus."

"Ini tempat umum, Riska. Lagian emang aku fotografer, kok."

"Nggak ada yang nanya, sih."

"Oh iya, ini uang sepuluh ribuan yang kemarin. Aku kan sudah bilang aku traktir kamu."katanya. Kali ini dia agak berbeda, wajahnya tak seceria kemarin. Mungkin kecapekan. Aku termangu menatapnya dan menerima selembar uang sepuluh ribu rupiah dan membiarkan dia menjauh meninggalkanku menghilang di antara kerumunan orang.

"Heh, bengong.Yuk, pulang!"ajak Dina.

***

Sudah seminggu aku menjaga adikku di rumah sakit bergantian dengan Ibu. Jika siang, ibulah yang menjaganya, jika malam tiba giliran aku yang menjaganya. Tapi ngomong-ngomong sudah tiga hari ini aku tak melihat cowok iPhone yang mengaku bernama Firman itu. Atau mungkin waktu itu dia kebetulan menjaga sanak saudaranya yang sedang sakit tapi sudah keluar dari rumah sakit. Aku duduk di tempat Firman duduk beberapa hari yang lalu sambil menikmati milo hangat. Udara malam ini terlalu dingin untuk segelas milo dingin.

Aku merogoh kantungku namun tak kutemukan ponselku, mungkin tertinggal di kasur pasien tempat adik. Namun, sebelum sampai di ruangan pasien, aku melihat ada seorang ibu-ibu menangis seseunggukan di depan ruang operasi. Aku menghampirinya.

"Sabar ya, Bu. Siapa yang sakit?"

Ibu itu menyerahkan sebuah iPhone dengan wallpaper sebuah foto anak laki-laki dengan kamera SLR menggantung di lehernya.

"Namanya Nanda Firmansyah."

Aku tercenganng, iPhone yang sedang kupegang nyaris saja jatuh kalau tidak segera kukontrol keseimbangan pikiran dengan badanku. Aku memeluk perempuan paruh baya itu, menyerahkan iPhone yang kupegang, menepuk pundaknya lalu meninggalkannya yang masih saja menangis.

Aku berhenti di depan tempat suster jaga yang sedang mengurusi berkas-berkas.

"Suster, pasien yang namanya Nanda Firmansyah dirawat di ruang berapa?"

"Mas Nanda? Maaf, Mbak. Tapi mas Nanda sudah meninggal beberapa jam yang lalu."

Aku terhenyak, "Sa... sakit apa, Suster?"

"Leukimia."

Selembar uang sepuluh ribu rupiah terjatuh dari genggamanku.


Ruang Bougenville 230 Rumah Sakit Mitra Keluarga, Surabaya, 2013.

cerita yang belum selesai

Berapa kali kamu jatuh cinta, setidaknya dalam satu tahun terakhir. Lalu mungkin berapa kali kamu patah hati karena bertepuk sebelah tangan, karena ternyata yang kamu suka sudah punya pacar atau bla bla bla yang lainnya. Nggak akan ada habisnya kalau kita ngobrolin tentang jatuh cinta, patah hati dan makanan sejenisnya. Itu kenapa sudah dua tahun aku memilih menjadi jomb.. ehmm.. sebut saja single. Entahlah, aku tak begitu suka dengan istilah jomblo. Terdengar sangat menyakitkan.

Aku duduk di salah satu sudut kedai kopi yang tak jauh dari kampus, teman-temanku entah ke mana. Dua orang sahabatku sedang pergi bersama kekasihnya, satunya lagi sedang sibuk dengan butik barunya yang baru saja dia buka bersama beberapa temannya sebulan lalu. Sedangkan aku, terdampar di kedai kopi yang sepi ini. Tak ada cerita seperti di cerpen-cerpen yang sering dibuat, aku-anggap saja seorang gadis manis yang sedang duduk sendirian di kedai kopi-lalu ada seorang anak laki-laki masuk dan melihat aku sendirian lalu duduk di hadapanku mengajak kenalan. Tak ada.

Iseng, aku mengaktifkan akun foursquare lalu check in di kedai kopi yang sedang saya singgahi siang ini. Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel saya.

"Ngopi nggak ngajak-ngajak."

"Iseng tadi, sekalian nunggu kelas nanti sore."

"Makan siang, yuk. Temenin aku. Foodcourt Tunjungan Plaza."

"Jemput."

"Manja."

"Biarin."

"Yasudah tunggu situ, limabelas menit lagi sampai."

***

Surabaya tak pernah sedingin ini sepengetahuanku, tapi sudah sejak pagi matahari masih saja betah sembunyi di balik awan. Aku memarkirkan mobilku di pelataran kampus lalu masuk ke sebuah ruangan tempat mahasiswa berkumpul. Sebut saja himpunan mahasiswa, aku memang tidak terlalu berpengaruh dalam organisasi di kampusku, tapi minimal aku selalu berkontribusi dan menjadi bagian dalam memajukan dan mensukseskan acara-cara kampus. 

Ada rapat siang hari ini, padahal aku sedang tak ada jadwal kelas. Friska, ketua himpunan saat itu memulai rapatnya. Tak ada yang terlalu penting untuk dibahas, hanya persiapan menjelang pemilu pemilihan ketua himpunan yang baru. Sudah setahun Friska menjabat dan dua bulan lagi sudah waktunya Friska untuk lengser dan memberi kesempatan kepada adik-adik angkatan kami untuk meneruskan perjuangan.

"Ada yang mau nambahin nggak, nih?"

"Kayaknya sejauh ini sih masih oke aja, Fris."ucap yang lain.

"Fris, gue cabut dulu ya? Ada urusan nih."bisikku yang duduk di samping Friska.

"Iya, balik aja duluan. Kita tinggal mberesin beberapa kok. Hati-hati."

Setelah berpamitan pada semua yang berada di ruangan aku melesat ke pelataran parkir yang lumayan jauh. Matahari masih bersembunyi, udara masih sejuk. Tapi tak berarti apa-apa buatku. Jalanan Surabaya tetap saja macet, istirahat makan siang. Mobil-mobil mulai turun ke jalan, klakson-klakson yang memekakkan telinga, pengendara motor yang nakal, penjual koran yang lusuh. Aku menarik napas dalam-dalam. Harusnya sih sudah sampai kalau nggak pake macet, apalagi aku bukan tipe orang yang suka ngaret.

"Sorry telat. Macet banget."

"Ah, lama. Aku bosan makanya aku sms kamu."

"Jadi aku cuman dicariin kalau lagi bosan?"

"Jangan suudzon. Tapi makasih ya, sudah mau nemenin aku."tukasnya seraya tersenyum lalu mengacak-acak rambutku.

Aku menarik napas dan ikutan tersenyum lalu membuka-buka buku menu, tatapanku di sana namun pikiranku menerawang jauh entah ke mana. Semacam terbang tanpa tujuan. Tapi aku tahu satu hal lagi selain Surabaya yang hari ini begitu sejuk, tatapannya lebih sejuk dari udara hari ini.

Jadi, apakah aku jatuh cinta?

Surabaya, 2013


harus percaya pada apa lagi?

dunia sudah bermuka dua.
lidah tak lagi kenal apa itu jujur.
abs meraja lela, semua asal bapak senang.
lalu, sekarang..
harus percaya pada apa lagi?

harusnya ketika mereka berjalan, saya berlari.

cita-citamu jadi apa? reporter.
cita-citamu jadi apa? dokter.
cita-citamu jadi apa? dokter gigi.
cita-citamu jadi apa? penulis cerita.

...dan masih ada beberapa cita-cita lagi yang pernah sempat saya ungkapkan di masa kanak-kanak ketika ditanya cita-cita. Tak pernah kepikiran atau terbesit sedetik pun dalam pikiran saya bisa masuk di jurusan akuntansi. Saya lulusan IPA di salah satu SMA Negeri di Surabaya, itulah mengapa saya ingin meneruskan cita-cita masa kecil yang sempat saya lontarkan. Menjadi dokter gigi, atau paling tidak saya ingin masuk farmasi. Itupun saya ketahui setelah saya SMA. Jurusan farmasi yang nantinya bisa menjadi apoteker atau entahlah saya tak begitu paham di bidang ini.

Tak pernah menyangka saya bisa masuk di jurusan akuntansi Universitas Airlangga, salah satu kampus negeri bergengsi di Surabaya. Bisa saja waktu itu saya masuk UNS Solo atau UGM Joga tapi mama saya tak pernah mengijinkan saya untuk kuliah jauh-jauh dengan alasan saya suka sakit-sakitan. Benar adanya, setelah pengumuman dan memasuki pekan OSPEK, saya terkena cacar. Hampir dua minggu mengasingkan diri di dalam kamar, seperti monster, saya malu bertemu teman-teman saya, bahkan sahabat saya.

Semester ini beberapa kawan saya sudah menyandang gelar sarjana, siapa yang tak resah jika mendengar kabar bahwa beberapa teman se-angkatanmu sudah menyelesaikan studinya sedangkan kamu masih saja berdiri satu langkah di belakang mereka? Siapa yang tak minder bertemu teman se-angkatan yang sedang riwa-riwi ngurusin ijazah di saat kalian sedang menenteng buku kuliah? Salah siapa? Ya, salah saya sejak awal. Harusnya ketika mereka berjalan, saya berlari. 

Lalu, apa yang ada di benakmu ketika mendengar lulusan akuntansi?
Auditor?
Akuntan?
Fiskus?
Manajer Keuangan?
Bankir?

Terserah!

Memangnya, siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok?
Menyalahkan diri sendiri juga tak menyelesaikan persoalan.

De-Sava Koffie, 2013.

Writers Block!

Tak ada yang istimewa hari  itu, tak ada hal yang perlu iingat pun. Aku melangkahkan kakiku gontai ke dalam ruang baca kampus yang isinya mereka yang sedang merajut masa depan melalui tulisan bernama skripsi yang sudah bertahun-tahun menjadi momok-yang-sangat-ditunggu-tunggu oleh sebagian besar mahasiswa yang sedang menempuh jenjang sarjana strata-1, tak terkecuali aku. Entah ada berapa orang yang seperti aku, mempunyai nomer locker favorit untuk meletakkan barang-barang yang tak boleh masuk ruangan seperti tas, map, softcase laptop, makanan juga minuman. Ada sedikit rasa kecewa yang terbesit saat mendapati locker nomer 123 sudah berpenghuni.

Namun bukan itu yang ingin saya bagi. Adakah kalian yang mengenal istilah writers block? Writers block adalah fenomena hilangnya sementara kemampuan seorang penulis dalam memulai atau melanjutkan tulisannya. Ada yang bilang hal ini bisa saja bukan hanya untuk sementara tapi untuk waktu yang cukup lama. Saya sempat mengerjakan beberapa bagian dari skripsi namun tiba-tiba mandeg, berhenti, tak ada passion untuk meneruskan tulisannya. Lalu pertanyaannya adalah, apa "penulis skripsi" boleh juga mengalami writers block????

Ruang Baca, FEB Unair.
Akhir April 2013.

selamat hari rabu

rabu tak selamanya pilu
semangat berjejer minta di palu
langit merah merona ditikam amarah
cita-cita makin tak terarah
di kota yang penduduknya tak lagi ramah
tak lagi mereka kenal cinta
beberapa malah hobby menanggung derita
yang dibuatnya sendiri lalu
menyalahkan kursi-kursi tertinggi yang mengaku
wakil rakyat kecil
namun bertingkah pecicilan
menebarkan harapan
yang bahkan tiada

surabaya, 2013
selamat hari rabu.