Goes to Blitar #2

Liburan kali ini agak beda sih sebenarnya, sudah kubilang kan artikan sendiri liburan macam apa kali ini dengan membaca tulisan sampai selesai. Malam itu, Blitar dingin sekali. Kami bermalam di rumah salah satu tim di Unair Mengajar, sebut saja namanya Niswah. Kami beruntung karena disambut dengan hangat oleh keluarga Niswah, diberi tempat nyaman untuk menginap dan yang pasti saya sudah menghabiskan satu toples kue kacang di meja ruang tamu Niswah *sungkem ke Niswah*. 

Rencana esok hari adalah kami akan mengunjungi sebuah Taman Kanak-kanak di kawasan Pantai Jolosutro, mungkin sekitar 40km dari tempat tinggal Niswah. Malam itu kami berbenah banyak hal, membuat beberapa konsep untuk adik-adik yang kita temuin esok hari. Kertas lipat mulai bertebaran merusuhi ruang tengah Niswah, spidol warna-warni, kertas manila, gunting juga beberapa canda tawa ikut menghidupkan suasa di ruang tengah. Rencananya juga, berhubung esok salah seorang kawan kami Nisun berulang tahun, malam ini kita sengja memojokkan Nisun yang kebetulan memegang jabatang sebagai Manajer Program tahun ini.

pose dulu lah sebelum nggandol truk. oke, gue paling gembel di antara mereka. :/

uno everywhere everytime ~


Hingga esok paginya, selepas antri mandi dan bangunin beberapa bocah yang susah bangun dan setelah sarapan kami meluncur ke kawasan Pantai Jolosutro dengan mengendarai truk. Iya, truk, jangan harap kami ke sana yang berduapuluh lebih ini naik mobil. Kami naik truk. Iya, truk, yang biasanya dipakai untuk mengangkut sapi-sapi. Tapi jangan salah, naik apa pun kita itu bukan hal yang penting, namun dengan siapa kita pergi itu lebih penting dari semuanya. #sajakdungu #skip #abaikan

Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih untuk sampai di lokasi, cukup jauh juga, apalagi saya memutuskan untuk berdiri dan tidak duduk. Alasannya sih biar bisa modusin Kak Yur menikmati pemandangan sekitar kawasan kota Blitar. Mulai dari Insiden Ria yang mabuk tetap tak mengurungkan niat saya untuk tetap berdiri sepanjang perjalanan dengan truk. Maklum, saya tipe orang penikmat perjalanan, bawa saja saya jalan-jalan, dijamin ndak bakal rewel deh, garansi seumur hidup, mengeluh uang kembali. Pffft.

Jangan dikira Taman Kanak-kanak di sana sama seperti TK di Surabaya dengan gedung mewah dan beberapa mainan ayunan, pelosotan dan sebagainya di halaman TK. TK Dharma Wanita, hanya terdiri dari satu ruangan, separuh batu bata dan separuh lagi berupa bambu yang disusun menyilang. Tak ada hiasan yang berarti di sana, hanya dua buah hiasan dari sedotan dan satu buah gantungan buah-buahan. Kami mengajak adik-adik untuk bernyanyi, bermain origami membuat burung dan bunga yang hasilnya kami pajang di dinding. Mengenalkan mereka beberapa profesi yang masih familiar bagi mereka dan yang seru adalah kami memasang pohon cita-cita di salah satu sudut ruang kelas dan menempelkan beberapa tulisan mereka di sana. Tulian mengenai cita-cita. Tak begitu beragam, sebagaian besar anak perempuan bercita-cita ingin menjadi guru, seorang menjadi bidan. Sedangkan anak laki-laki lebih memilih untuk menjadi pemain sepak bola dan seorang di antaranya menjadi superman. Oke, absurd! Tapi inilah kenyataannya.

TK Dharma Wanita dari depan. oke, gue numpang mejeng dulu ya bareng Astrid heuheu.

origami burung hasil karya anak bangsa bersama kawan-kawan unair mengajar

pohon cita-cita
Saya suka prihatin dengan anak-anak jaman sekarang. Sedikit banyak pergaulan mereka dipengaruhi oleh televisi yang menurut saya tidak lebih bermutu. Membuat pemikiran beberapa anak jaman sekarang terkesan sempit. Buktinya, dari sekian banyak anak, semuanya ingin menjadi guru. Tidakkah mereka tahu ada berbagai macam profesi hebat di luar sana yang bisa mereka kejar jika besar nanti? Polisi, Dokter, Hakim, Penulis, Reporter, Editor dan masih banyak lagi yang saya yakin tak banyak atau malah hampir semua dari mereka tidak begitu mengenal. Bukan menjudge hanya sebuah pendapat. :)) *tiba-tiba serius* *lalu minum wiski biar kembali normal*

Selepas mengajar, yang paling kami tunggu-tunggu adalah......yak! benar! ke pantai. Berhubung bingung mau cerita apa karena sebagian besar waktu dibuat untuk teriak-teriak, foto-foto dan bermain air lebih baik saya posting beberapa foto keindahan alam di tepi bibir jolosutro yang belum sempat mengecupku karena saya takut sekali untuk air di pantai bagian selatan. hehehe, penakut? whateveeeerrrr.. ~


bibir jolosutro

jolosutro dari atas gunung

nikmat tuhan mana lagi yang kamu dustakan, brooo. ~



Goes to Blitar #1

Hari itu hari kamis, tak terlalu manis lebih pada panas. Matahari di atas Surabaya yang terkenal panas itu masih saja suka menggigit kulit, dengan diantar sahabat saya Anita saya menuju Bungurasih atau Terminal Purabaya. Terminal yang berada di kawasan Waru, Sidoarjo. Hari ini rencananya saya mau jalan-jalan ke Blitar, oke, jalan-jalan? Well, entahlah, artikan saja sendiri apa namanya perjalanan saya kali ini. Syaratnya gampang, baca tulisan ini sampai selesai. Heuheuhue.

Di terminal, saya sudah dinanti oleh Sultan, salah satu kawan saya. Finalis Cak dan Ning Surabaya, sama-sama pecinta the blues dan suka nongton serial tv how i met your mother sampe lupa waktu. heuheuheu (oke, Lu udah aku promosiin, Taaaan! *mintak bayaran*). Bocah berkulit terang itu menunggu saya di depan bus ekonomi tujuan Malang-Blitar. Oke, sedikit bocorin rahasia, dia salah satu manusia yang bisa dikatakan naik bus adalah hal langka buatnya. 

Perjalanan Surabaya-Malang kami habiskan dengan membicarakan banyak hal, tentang politik, ekonomi sampai makanan ringan semasa kecil. Oke, ini random, dua jam empat puluh menit kami habiskan dengan ngobrol hingga berbusa. Jalanan pun bersahabat, hanya saja ketika selepas purwodadi ada sedikit hambatan karena bus terbakar. Ngeri, meeeeen. :/

Sebagai dua orang yang sok melancong padahal tak tahu arah, perjalanan Surabaya-Malang yang menyenangkan dirusak seketika ketika kami meluncur menuju Blitar setelah pindah bus. Semua berawal dari bus yang bersesakan dan Sultan yang galau mau berdiri memberi tempat ke ibu-ibu tapi takut mengubah formasi yang sudah ada dan malah mengganggu penumpang lain atau duduk saja pura-pura tak tahu. Lalu ibu-ibu yang ehem maaf, muntah, di sebelah kami. Juga bapak-bapak yang rupanya dengan sengaja membuka anak kancing kemejanya hingga auratnya terlihat kami. Absurd. Belum lagi supir bus yang menyetir sambil menelepon. Padahal, medan yang harus ditemput berkelok-kelok dan sempit. Anggap saja waktu itu kami berdua sedang sport jantung. 

Saya turun lebih dulu di daerah Pandean dan Sultan di Herlingga yang kita sama-sama tak tahu di mana itu seperti apa daerahnya. Bondo Nekat. Tapi syukurlah, Tuhan maha bercanda pun maha baik dan penyayang kepada kami. Kami bisa sampai di tempat tujuan masing-masing tanpa kekurangan apa pun. 

Setelah menunggu beberapa menit untuk dijemput Azul yang merupakan salah satu partner saya di Unair Mengajar, yaitu salah satu social movement di kampus tercinta kami yang sangat peduli terhadap pendidikan, saya pun sampai di rumah Niswah. 

*sujud syukur karena ndak nyasar*

to be continued...

Pengantar Pesan

Ting Tong.. Ting Tong..
Suara itu lagi, suara bel yang terbatuk-batuk karena usia itu buatku ibarat seorang pengganggu yang mengoyak-ngoyak tubuhku yang masih saja tertidur lelap untuk bangun. Matahari belum juga nampak, dingin masih betah memeluk namun bel batuk itu sudah berbunyi saja.

Tak lama setelah itu pintu kamarku akan diketuk oleh Ibu. 

Tok Tok Tok.
"Sudah siang, mau sampai kapan tidur?"kalimat yang sama setiap hari, suara yang sama setiap hari.

Sebelum aku berangkat ke kantor, ketika aku mengenakan sepatuku di teras rumah selalu kulihat satu buket bunga terdampar di meja teras. Ibu menghampiriku sambil berkata, "Itu bunga buat kamu." - selalu seperti itu setiap hari.

***

"Selamat pagi, Mbak Dona!" -- sapaan itu setiap pagi, dari satpam kantor dan Mbak Nuke, resepsionis kantor. Setelah itu, kutemui setangkai bunga mawar putih di mejaku dengan tulisan, "Selamat pagi, Dona!"

**

Oh iya, mengenai buket bunga tiap pagi dan setangkai mawar putih di meja kerja memang tidak setiap hari, itu semua ada semenjak dua minggi yang lalu. Selang-seling setiap hari, senin ada, selasa tidak, rabu ada, kamis tidak, begitu seterusnya. Sampai vas bunga hijau toska di sudut mejaku penuh dengan mawar putih, ada yang masih segar ada yang layu dan juga hampir layu. sebuah tanda tanya yang menggelantung di kelopak mataku makin membesar, berat, membuatku semakin mengantuk namun tak ingin tidur.

Aku membetulkan jas kuning gading yang membalut dress biru pastelku sore itu, kuteguk sebotol teh dingin di pinggir halte tak jauh dari gedung tinggi tempatku bekerja. Matahari menyisakan semburat oranye indah namun serasa panas. Tapi aku yakin, di ibukota ini tak akan ada yang menghiraukan panasnya warna oranye namun indah di ufuk barat yang hadir setiap senja itu. 

Jalanan sibuk dengan asap kendaraan bermotor warna hitam di mana-mana, polisi-polisi sibuk mengatur jalan mengurai kemacetan, kenek metromini sibuk berteriak dan menarik ongkos kepada penumpang, beberapa pasang kaki sibuk berlari mengejar waktu, kecuali aku, aku merasa hening dalam riuh tiap senja.

Aku sengaja membawa setangkai yang baru saja diletakkan di meja kerjaku pagi tadi untuk kubawa pulang, kupikir kamarku akan terlihat cantik jika kuberi setangkai di sudutnya sambil mencoba mengurai tanda tanya.


***

Tok Tok Tok.

 Kulihat jam masih menunjukkan pukul delapan malam, belum pagi, tapi kenapa sudah ada yang mengetuk pintu?

"Iya?"seruku.

"Sayang, ada tamu!"seru Ibu dari luar.

"Siapa?"

"Ibu lupa namanya, lebih baik kamu segera keluar."

lalu suara itu lenyap.

Aku melangkahkan kakiku menyusuri anak tangga rumah sederhana berlantai dua itu. Kulihat anak laki-laki berdiri di serambi rumah, ada sebuket bunga lagi di meja teras. Laki-laki itu tak seperti kebanyakan laki-laki yang datang ke rumahku, setelan jas dan sepatu mengkilat. Dia hanya mengenakan celana jeans rapi dan kemeja dilipat sesiku, lalu parfumnya....aku hampir pingsan, ada memori yang tiba-tiba merangkak keluar dari tempat yang sudah kukunci rapat-rapat di pikiranku.

"Permisi, mas, mau cari sia..."

Laki-laki itu membalikkan badannya.

"Malam, Dona."

"Kamu? Jadi kamu yang selama ini..."

"Sudah dua minggu lima hari, kamu belum juga tahu pesan apa yang ada di balik bunga-bunga yang kukirim? Atau bahkan kamu belum tahu siapa pengirim bunga-bunga itu?"

"Aku..."

"Coba kamu baca ini."kata laki-laki itu sambil menyerahkan secarik kertas kumal berwarna merah muda. 


Dear, Dimas.
Aku terlalu muda untuk mengerti apa itu cinta.
Aku terlalu bodoh untuk membaca perasaan-perasaaan.
Tapi yang kutahu, Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.
Memberinya sebuah rasa bernama cinta dalam hati setiap kita
nyatanya, cinta itu bernama kamu.
Pergilah, raih cita-citamu.
Aku baik-baik di sini, lebih baik dari apa yang kamu kira
Menunggu.. mungkin itu yang akan kulakukan.
Jika kita sudah siap nanti, dan kau sudah memeluk cita-citamu,
datanglah, berikan aku sebuket bunga dan setangkai mawar putih
maka, aku akan kembali mengingatmu, sebagai soerang kekasih.

Aku berdiri terpaku tak tahu apa yang harus aku keluarkan dari  bibirku dengan lidah yang mulai kelu, mataku mulai layu badanku makin terlihat kuyu, surat itu berumur sepuluh tahun, aku mungkin tak akan mengingatnya sebelum hari ini, sebelum akhirnya Dimas, menepati janjinya.

Surabaya, 2013.

Tiga Senjata: Syukur, Jujur, Sabar

“Masalah itu bukan untuk dihindari atau dianggap tak ada, tapi untuk dihadapi, diselesaikan.”

Pesan singkat namun mampu membuat Ajeng tak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini. Perempuan yang tahun ini genap berusia 26 tahun itu menyalakan kembali lampu kamarnya, membuka komputer jinjing yang tergeletak di atas meja kerjanya. Untuk perempuan berusia di atas dua puluh lima, Ajeng bukannya tak khawatir karena belum juga menemukan pendamping hidup.

Kisah cintanya yang terakhir membuatnya tak lagi percaya akan sebuah komitmen. Sebagai seorang auditor yang konon katanya sibuk dan tak punya waktu luang Ajeng berhasil mengesampingkan bahkan lupa mengenai segala hal tentang lelaki pun dengan komitmen.

“Kamu nggak bisa gini terus, Jeng.”kata Risty siang itu, sahabat lamanya itu memang sering sekali menyempatkan waktu untuk sekadar mengajaknya makan malam selepas jam kantor. Risty bekerja di sebuah stasiun televisi swasta kenamaan sebagai tim kreatif itu tak jauh beda dari Ajeng. Dia juga hampir tak punya waktu, namun Risty telah menikah tahun lalu. Dengan pacar lamanya ketika mereka masih di perguruan tinggi.
“Maksud, Lo?”

“Tahun ini kita sudah 26, Jeng. Menikahlah.”

“Dengan siapa? Tukang becak depan komplek? Ini bukan hal sepele, Ty. Bukan masalah ah aku lapar lalu kita pergi ke warung depan komplek beli nasi goreng.”

“So? What will you do next?”

“Sudah berapa lelaki yang  kau tolak lamarannya?”

“Baru dua.”

“Baru dua? Mau nunggu sampai berapa? Sepuluh? Seratus? Seribu?”

Ajeng membasahi wajahnya yang sebenarnya sama sekali tak mengantuk itu lalu memandangi refleksi dirinya. Sudah beberapa munggu ini berat tubuhnya menurut drastis. Ini berkaitan dengan pekerajaannya. Perusahaan yang dia audit banyak sekali mempunyai masalah, Ajeng diminta melancarkan segala urusan, bahkan atasannya memintanya untuk menerima permintaan perusahaan tersebut. Ajeng pun diancam dipeccat.

“Kak, jangan lupa minggu depan Dani bayar uang semester.”

Begitulah isi pesan singkat lewat blackberry messenger miliknya dari Dani, adik semata wayangnya. Ayah dan ibunya sudah pensiun lama dan dia berjanji menanggung semua biaya kuliah dan biaya hidup Dani di luar negeri. Anak laki-laki itu sedang mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam.

“Kenapa tak kau biarkan saja adikmu kuliah di dalam negeri jika kamu memang tak mampu membayar biaya hidupnya, Mbak?”ujar ibu beberapa hari yang lalu, saat itu Ajeng sedang duduk melamun di beranda rumah sambil matanya tak lepas dari layar ponselnya.

“Ajeng sanggup, Bu. Ibu jangan khawatir, semua biar Ajeng yang urus.”

“Ibu percaya, tapi ingat, jangan dipaksa.”
***
“Maaf, kamu sudah buat klien kita kecewa, Jeng. Apa salahnya sih membuang egomu sebentar kali ini saja. Maaf, mulai besok kamu tidak bisa lagi bekerja di kantor kami.”begitu kata bos Ajeng siang itu.
Ajeng hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Sebagai pimpinan tim audit, Ajeng memberi opini disclaimer terhadap hasil laporan auditan kliennya. Ajeng mengemasi barang-barangnya lalu pergi ke sebuah kedai kopi tak jauh dari mantan kantornya.

“Lu nggak kerja?”tanya Risty yang sengaja ia undang.

“Gue dipecat.”

“Gara-gara masalah itu?”

“Begitulah.”

“Kata mamaku, kita harus jujur apa pun resikonya.”

“Aku juga bersyukur karena aku dipecat. Kantor itu bukan kantor yang baik buat aku.”

“Aku bangga sama kamu, Jeng. Makin cinta pun!”

“Jijaaaay tauk! Oiya, aku ketemu Satya kapan hari.”

“Terus?”

“Gue nikah tiga bulan lagi.”

“WHAAAT? DAN LU BARU KASIH TAU GUE SEKARANG?”

“Surprise, dear.”

“Tak apa, ini buah dari tiga hal yang kamu pegang teguh selama ini.”

“Tiga? Apa saja?”

“Syukur, karena kamu tak pernah mengeluh dengan keadaanmu. Jujur, karena kamu berani mengambil resiko bahkan untuk dipecat dan Sabar.”


Risty memeluk sahabatnya.

Sepasang Sepatu Tua

“Kok begini doang? Dandan dulu kek sana.”
“Kita ini mau kencan, bukan mau nonton bola. Penampilannya yang bagusan dikit, kek.”
“Yaampun jorok banget sih makan pake tangan. Itu pencipta sendok sama garpu udah susah-susah nyiptainnya, tauk!”
“Sepatu buluk begini masih aja dipake, ayo kita ke mall kamu boleh pilih satu yang bagus di sana. Masalah harga, biar aku yang bayarin.”
“Jojaaaaaa! Ini mobil sudah berapa lama nggak dicuci? Jorok! Hari ini kita keluar pake mobilku aja.”
“Sudah jam berapa ini dan kamu belum mandi? Padahal aku sudah rapi pagi-pagi ke sini pengen ajakin kamu sarapan bareng. Eh, kamunya masih kumel begini, sih?”

Joja menangkupkan kedua tangan di wajahnya yang sudah mulai sembab. Sudah sejam ini dia menangis tak tahan dengan suara-suara yang baru saja mengitar bebas di kepalanya. Perempuan dengan rambut hitam panjang menjuntai indah di hadapannya hanya bisa diam melihat sahabat baiknya seberantakan siang itu, sesekali menepuk pundaknya, menguatkan. Belum pernah Dina melihat Joja seperti hari ini, itu artinya, ini sudah titik puncak sebuah masalah bagi seorang Joja.

Siang ini terik, panas, sepanas perasaan Joja setelah pertengkaran karena masalah kecil beberapa jam yang lalu dengan kekasihnya, Rian. Dina memainkan gelas kopinya, menunggu sahabatnya itu tenang.

Usia hubungan Joja dan Rian sudah tak bisa dikatakan muda lagi, hampir tiga tahun ini mereka menjalin sebuah komitmen. Sebuah rekor Rian yang konon dulu adalah seorang playboy cap kapak di Sekolah Menengah Atas di tempat dia bersekolah dulu. Tapi semua berubah semenjak Rian bertemu dengan Joja, begitu cerita Rian kala itu.

Bahkan menurut sepengetahuan Dina, mereka tak pernah terlihat ada masalah. Entahlah, memang tak pernah ada masalah atau mereka pandai menutupi masalah mereka di hadapan orang lain.

“Mau nangis sampe kapan? Jangan siksa dirimu sendiri, Jo.”
“Aku sudah nggak kuat lagi, Din. Tapi aku sayang banget sama Rian.”
Joja menangis lagi.
Dina kembali memainkan cangkir kopinya.
***

“Saya terima nikah dan kawinnya Atikah Wulansari binti Surya Sucipto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Gimana saudara-saudara? Sah?”
“Saaaaaaaah!”

Joja menitikkan air mata melihat sosok perempuan di hadapannya, hari ini Atikah, kakak perempuan pertama Joja telah resmi menjadi istri. Joja memandang foto di sudut kamar ruangan lalu kembali menitikkan air matanya lebih deras lagi.

Joja adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Atikah, kakak perempuan pertamanya hari ini akan resmi menjadi istri seorang pilot adalah lulusan termuda sebuah fakultas kedokteran di universitas ternama di kotanya. Bima, kakak laki-laki Joja adalah seorang arsitek slengekan yang sampai saat ini masih kuat dengan status jomblonya. Sedangkan Joja sendiri, adalah anak terakhir yang bulan depan resmi menjadi sarjana pendidikan bahasa inggris. Cita-citanya sejak kecil memang ingin menjadi guru.

“Tadi nangis, ya?”tanya Rian. Joja mengangguk. “Cengeng.”celetuk Rian sambil mencubit pipi Joja lalu berlalu meninggalkannya. Joja menggelengkan kepalanya.

“Kamu pasti adiknya Atikah.”seseorang menghampirinya.
“Siapa, ya?”
“Ludi.”ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
“Joja.”
“Itu sepatu pasti spesial, ya?”
“Tahu dari mana?”
“Kalau melihat penampilanmu dari atas, sih. Rambut rapi, wangi, gaun cantik dan feminin sekali, aksesoris, tapi kamu masih mempertahankan sepatu yang kumel begitu kurasa itu sepatu spesial.”
“Hadiah ulang tahun ke-tujuh belas, dari almarhummah mama. Kenapa? Jelek ya?”
“Sudah kuduga. Enggak, bagus, bukan sepatunya yang bikin penampilan kamu jelek. Tapi muka kamu yang daritadi cemberut. Senyum, deh. Kurasa kamu akan terlihat lebih manis.”celotehnya.
Laki-laki itu tersenyum lalu berkata sebelum pergi, “Kamu cantik, sekumel apa pun sepatumu.”

***

“Siapa?”tanya Rian.
“Enggak tahu, tamunya kakak mungkin.”
“Kok akrab sekali?”
“Aku bahkan belum kenal.”
“Oh, kenalan baru?”
“Rian, apaan, sih?”
“Sepatu yang aku belikan kemarin mana? Lihat deh, gaun sudah anggun, rambut rapi, cantik tapi penampilan dirusak gitu aja sama sepatu kumel itu. Sana ganti, aku tunggu.”ketus Rian.
Joja menggelengkan kepalanya.
“Kamu tahu kan, ini sepatu kado terakhir sebelum mama pergi?”
“Terus, apa hubungannya?”
“Kamu memang nggak pernah bisa ngerti, Rian.”
“Kamu mau cari ribut?”
“Kurasa kamu benar kemarin, kita harus putus.”

Joja menatap Rian dengan gusar, lalu pergi meninggalkan laki-laki dengan penampilan sempurna dan menghampiri Dina yang sudah menunggunya sejak tadi dari kejauhan.

“Simpan tangismu setelah acara ini. Jangan buat kakakmu sedih di hari pentingnya.”bisik Dina.